Zear's Club


ZEAR
Oleh : Imeylda Afyolanda (Siswi SMAN 1 GLENMORE)
Disini kita pernah bertemu mencari warna seindah pelangi. Ketika kau menghulurkan tanganmu, membawaku ke daerah yang baru dan hidupku kini ceria….*
Juli, 2009
Kawan, kau ingat bagaimana Allah mempertemukan kita di sebuah tempat tak terlupakan itu? Saat ashar menjelang dan langit masih menyilaukan matahari senja. Ketika kita masih asing dengan nama, sifat dan karakter satu dan yang lain. Lalu tangan kita berjabat, memberi kesan baru. Itulah perkenalan kita pertama kali saat awal nyantri di Balai Pendidikan Utama Islan Minhajut Thullab.
Masih segar dalam ingatanku, tahun pelajaran saat itu kita berjumlah dua puluh empat orang. Sepuluh santri laki-laki dan empat belas santri perempuan. Meskipun asrama santri laki-laki dan perempuan hanya dibatasi oleh tembok setinggi kita mengangkat tangan keatas lalu melompat setinggi yang kita mampu, namun tetap saja kiat jarang bertemu.
Hari pertama tidur di asrama dan terikat oleh peraturan untuk bangun disepertiga malam dan shalat tahajud berjama’ah. Setelah shalat tahajud dilanjutkan shalat shubuh lalu sekolah, nyaris waktu tidur hanya lima jam dalam sehari. Ini ibarat gelas yang dituangi air panas, terkejut. Semua mengeluh. Bahkan ada yang jatuh sakit.
Ya, saat itu tengah malam di musim hujan. Aroma anyir sisa titik air yang menerobos celah-celah jendela masih menusuk hidung. Hawa dingin yang menembus selimut juga masih menyisakan kemalasan untuk bangun atau sekedar membuka mata. Tapi telinga semua penghuni asrama Aisyah masih setia terjaga.
Mama… mama…
Suara erangan diikuti isakan memaksaku untuk bangun dari ritual lelapku. Ada kejengkelan yang meluap. Beberapa teman juga nampak terbangun dari tidurnya. Siapa tengah malam begini yang menangis? Apa hanya aku yang mendengar?
“Meyl, siapa yang nangis?” Tanya Liha padaku.
“Itu suara Nori, Li.”
Aku, Liha, Jihan, Amel dan Nisa bersama-sama menuju tempat tidur Nori. Ternyata benar dia yang menagis. Keningnya panas. Dia demam. Nisa segera mencari obat di kotak P3K yang terletak disebelah kiri pintu masuk asrama.
“Obatnya habis, rek!” Ujar Nisa seraya berlari menuju kami.
“Gimana ya?” Amel cemas.
Jihan mendekatkan diri dan duduk disebelah Nori. Mengolesi minyak kayu putih ke tangannya yang dingin. Aku masih terpaku disebelah Jihan. Elma yang terlelap disamping Nori ikut terbangun karena suara berisik kami.
“Nori kenapa?” Tanyaku.
“Aku kangen mama.” Katanya dengan suara parau.
“Itu cobaan buat kita, Nor. Nori pasti bisa melewati ini. Allah bersama kita, Nori.” Kata Liha sambil memeluk Nori. Malam itu kami semua larut dalam pelukan hangat dan isak yang menyatu dengan suara hujan yang mulai turun lagi.
Sejak saat itu kami semua sering membuat lingkaran diatas tikar pandan di mushola yang sudah using dan pudar warna catnya untuk sekedar berbagi cerita yang mengendap dalam hati. Sampai larut malam kami mendengarkan curahan hati satu per satu dari kami dengan saksama. Jika kami bisa pecahkan sebuah masalah, pasti akan kami cari solusi bersama.
Hari ini kami berangkat sekolah terlambat lima menit. Gerbang sekolah hampir tertutup saat kami dan beberapa santri laki-laki tunggang langgang sambil berteriak pada pak satpam untuk tidak menutup dan mengunci pintu gerbang.
“Pak, jangan ditutup dulu…” Serempak kami berteriak. Bak suporter klub sepak bola yang menyaksikan tim kesayangannya unjuk aksi di lapangan hijau.
Pak satpam berbaik hati pada kami semua. Beliau mempersilahkan kami masuk dengan syarat lain kali tidak boleh terlambat lagi.
“Iya, pak.” Kami menjawab serempak.
 Hari itu seusai istirahat Bu Kenny masuk kedalam kelas dengan senyuman khas seorang guru pada anak didiknya. Entahlah, siang itu suasana sedang tidak bersahabat dengan aku, Amel dan Hakim.  Aku,yang biasanya semangat bertatap muka dengan guru IPS ini, siang itu aku begitu malas mendengar setiap bait kata yang menerangkan tentang laut teritorial dan ZEE. Zona Ekonomi Eksklusif.
Saat sedang asyik memandangi papan tulis yang penuh catatan, diri ini semakin tak bersemangat. Entah mengapa, tiba-tiba tangan ini menulis sesuatu diatas kertas putih yang belum ternoda. ZEAR. Setelah sedikit berperang dengan otak, akhirnya muncullah definisi dari kata aneh itu. Zona Edan-edanan Alumni Rolas.
Setelah jam sekolah usai, aku mengajak semua teman-temanku berkumpul. Laki-laki dan perempuan berbaur akrab namun masih diberi jarak karena memang kami masih malu-malu kala itu. Canda, tawa serta suara terbahak-bahak memenuhi ruangan kelas 7D. lalu seketika suasana senyap saat aku memulai konferensi meja kotak siang itu.
Rek, alumni sebelum kita punya identitas buat menunjukkan siapa mereka. Nah, karena kita alumni tahun kedua belas, tadi aku nggak sengaja dapat nama buat alumni kita.” Kataku panjang lebar.
“Apa? Apa?” Mereka semua berebut bertanya padaku.
“ZEAR.”
“Apa itu?” Tanya Okky.
“Zona Edan-edanan Alumni Rolas. Ini nyawaku, nyawamu, nyawa kita.” Kata Amel yang lebih dulu tahu asal-usul nama itu.
Semua mengangguk. Lalu kami saling pandang dan tertawa bersama. Saat itu penampilan kami masih sangat jadul. Maka tidak canggung bila kami semua terlihat seperti orang yang tidak terawat. Namun kami bangga dan bersyukur pernah menjadi salah satu bagian kecil dari sejarah BPUI Minhajut Thullab. Disinilah kami mengenal arti memiliki yang sesungguhnya.
“Eh…” Anas membuka suara.
“Apa, Nas?” Fakungking bertanya.
“Aku bahagia banget bisa ketemu dan kenal kalian disini. Tapi, aku nggak bisa bertahan. Setelah ujian nanti aku mau pindah ke Bali.” Kata Anas dengan wajah menunduk.
“Aku juga mau pindah ke Bali.” Kata Alvin.
“Aku pindah ke Jember.” Kata Faishol.
“Kalian ini baru masuk kok udah mau pindah?” Ujar Rozza sewot.
“Ya mau gimana lagi, bapak ibu kami yang minta.” Timpal Bashofi.
“Kamu mau pindah juga?” Tanya Faid.
“Ya.” Ujar Basofi pendek.
Suasana mendadak sepi. Hanya deru angin menggoyangkan dedaunan yang terdengar. Kami diliputi rasa sedih yang tiada terkira. Benar kata orang bahwa sedetik kita mengenal tapi seumur hidup tak bisa melupakan.
Faishol mengambil langkah pertama untuk meninggalkan kami yang masih membeku. Lalu diikuti Fakungking, Anas, Alvin, Hakim, Sukron, Arif, Okky, Bashofi dan Vicky. Selanjutnya Nisa yang menyusul mereka lalu aku, Amel, Liha, Elma, Faid, Nori, Rozza, Tatik, Ela, Jihan, Fitri, Selda dan Sriponi.
“Nanti malam aku nggak bisa bareng kalian. Nanti malam aku dijemput bapak ibu dan pindah sekolah ke Pesanggaran.” Kata Sriponi.
Kami semua menoleh dan memandang tajam padanya. Tiba-tiba Rozza terisak sambil memeluk sriponi. Jilbab putihnya basah oleh air mata mereka berdua. Setelah itu kami semua berpelukan erat untuk beberapa waktu. Setelah puas, kami pulang ke asrama.
***
Ujian semester pertama sudah kami laksanakan. Tinggal menunggu nilai yang tertera di raport kami masing-masing. Ada kesenangan yang menyeruak mengingat kami akan pulang kerumah setelah enam bulan tidak mengetahui kondisi rumah kami. Tapi adapula sedih yang menghinggap bila ingat setelah liburan usai berarti kami akan kehilangan banyak anggota. Kehilangan banyak sahabat dan saudara.
Liburan pertama kami pun tiba. Setelah mengemasi barang-barang dan berpamitan kepada pengurus pesantren, aku dan semua santri bersorak-sorai menemui orang tua masing-masing setelah lama tak berjumpa.
Beberapa mobil dan sepeda motor mulai meninggalkan halaman parkir. Namun tak sedikit pula kendaraan lain datang memenuhi tempat-tempat yang kosong. Subhanallah di momen inilah ku rasakan betapa  indah sebuah pertemanan. Saat jabat tangan ratusan santri memenuhi halaman depan masjid untuk berpamitan. Saat seluruh santri bertukar nomor handphone. Saat kami saling berlambaian tangan melepas kepergian satu demi satu teman kami pulang ke rumah mereka. Ada rasa haru yang tiba-tiba menyeruak dari dalam hati. Rasa rindu yang pasti amat sangat lama walau hanya dua minggu berpisah.
Seusai liburan, aktifitas kami sebagai pelajar kembali seperti semula. Berlomba dengan diktat waktu yang semakin cepat berputar. Sekarang kami telah memasuki tahun ke dua di sekolah ini. Kelas pun telah di tetapkan. Aku, Amellia, Rozza, Nori serta Hakim mendapat kelas awal diantara lima kelas yang ditetapkan, 8A. Fitri, Tatik, Liha bersama dalam kelas disebelah kelas kami, 8B.sedangkan Ela di kelas 8C dan Nisa serta Vicky di kelas 8D. Jihan dan Elma memasuki kelas terakhir, 8E.
Sebenarnya tidak ada yang berbeda ketika kami menjalani tahun kedua di pesantren ini. Hanya saja, kini suasana menjadi semakin senyap. Apalagi ketika wisuda santri yang kami ikuti menjadi sunyi karena tidak ada dua jagoan ZEAR yakni Hakim dan Vicky yang juga pindah ketika memasuki tahun kedua kala itu. Namun yang menggembirakan adalah Fakungking hadir ketika santri putri dikukuhkan sebagai wisudawati. Kehadirannya bak embun yang menetes membasahi kegersangan.
“Selamat ya buat wisuda kalian?” Katanya pada kami.
“Ayo foto diatas pentas!” Kata Amel.
Kami semua segera berlari ke atas pentas dan berpose bak artis era 90-an. Seusai acara kami sempat bertukar cerita dengan Fakungking. Hakim hanya menitipkan salam padanya untuk kami. Waktu beranjak larut, Fakungking pun berpamitan pada kami.
Setelah momen malam itu, alumni dua belas  hanya terdiri dari dua belas santri putri. Tak ada yang istimewa dalam perjalanan kami di tahun ketiga hidup di BPUI Minhajut Thullab. Tapi ada sebuah momen menyentak yang membuat kami berjanji bersama-sama dibawah kubah mushola putri seusai shalat ashar ketika itu.
Sore itu sambil menunggu salah satu guru kami datang untuk mengajari ilmu fiqh pada kami. Mukenah yang kami kenakan belum kami lepas. Seperti biasa, kami membentuk sebuah lingkaran. Satu per satu dari kami mulai berceloteh tentang harapannya di masa depan. Tinggal Nori yang belum mengungkapkan keinginannya di masa depan. Kami semua masih menunggu,
“Aku mau jadi Duta Besar Kairo untuk Indonesia. Biar suatu saat kita bisa main air di pantai Alexandria. Aku akan ajak kalian semua.” Katanya dengan mata menyala.
“Wih, keren banget cita-citamu.” Kata Faid, Ela dan Tatik hampir bersamaan.
“Semoga tercapai, Ya Allah. Aamiin.” Kami semua mengamini.
“Aku akan jadi penulis, rek. Dan, entah kapan aku pasti akan menuliskan kisah kita ini. Pasti!” Kataku.
Kami lalu larut dalam pelukan panjang. Memang BPUI Minhajut Thullab bukanlah sebuah pesantren dengan bangunan megah dan gedung bertingkat. Tetapi disini kami merasakan sebaik-baik ukhuwah yang akan menjadi salah satu epik terindah dalam kisah hidup kami semua.
Janji yang kami ucapkan sama seperti lima sekawan shahibul menara di film Negeri 5 Menara. Bedanya, mereka sudah meretas janji mereka menjadi sebuah realita. Sedangkan kami masih berjuang untuk mewujudkan mimpi dan cita-cita kami. Aku jadi teringat kata-kata Sa’d ibn Mu’adz,
Kami telah berba’iat, untuk mendengar dan taat
Dalam suka ataupun duka, saat segar atatupun lelah
Ketika bersemangat ataupun malas, kuat ataupun lemah
“Kita semua sudah berjanji. Sepuluh tahun lagi kita akan bertemu ditempat ini dan semua janji yang sudah kita ucapkan akan terwujud. Allah sudah memeluk mimpi, janji dan cita-cita kita semua. Aku akan tunaikan janjiku untuk menuliskan cerita kita, ZEAR.” Kataku.
“Assalamu’alaikum.” Suara seorang laki-laki membuyarkan lingkaran kami.
“Kok Ustad Ismail yang datang?” Tanya Ela.
“Ustad Wahid berhalangan datang, jadi saya bertukar jadwal mengajar dengan beliau.”
“Oh… Hari ini kita dapat motivasi apalagi nih dari ustad?” Kata Nisa.
Karena waktu belajar kami hampir habis, jadi beliau hanya memberikan sebuah petuah pada kami.
“Tadi saya mendengar semua mimpi dan cita-cita kalian. Kalian semua yang ada disini merupakan calon orang-orang hebat yang akan membangun peradaban islam sehingga islam bisa bangkit kembali dan menemukan jati dirinya sebagai agama yang pernah memimpin separuh dari jaga raya ini. Oleh karena itu, setelah kalian selesai dengan satu urusan maka teruslah berusaha untuk menuntaskan urusan yang lain.” Kata beliau.
Petuah itu selalu kami pegang sebagai pedoman langkah kami. Jika kami merasa lelah, maka semangat kami akan kembali membara setelah mengingat petuah itu. Hingga masa perpisahan itu pun tiba. Kembali kami diliputi perasaan sedih, mata kami berkabut lalu butiran-butiran bening itu luruh.
Kami larut dalam pelukan terakhir kami. Saling menautkan jemari, mengikrarkan janji sehidup semati bersama walaupun jarak memisah jasad dan ruh. Tetapai Allah tak pernah tertidur, dimana doa akan menyambung semua rindu yang berkelindan dimasing-masing hati kami.
Sahabat, tibalah masanya. Bersua pasti ada berpisah. Bila nanti kita jauh berpisah, jadikan rabithah pengikatnya, jadikan doa ekspresi rindu. Semoga kita bersua di syurga.**
Ditulis untuk memenuhi sebuah janji
Dengan penuh cinta : ZEAR
*Lirik lagu Brothers-Untukmu teman
**Lirik lagu Sigma-Senandung Ukhuwah








Komentar